Selasa, 22 Maret 2011

Erosi Hati dan Korupsi Akhlak

Secara fitriah hati itu bersifat lembut (latifah), mudah tersentuh, dan sangat peka terhadap berbagai perubahan psikologis yang terjadi. Setiap hati sejatinya membimbing kita untuk "pulang" ke sumber kedamaian, mewartakan kerinduan pada kebenaran hakiki. Kompas di hati setiap manusia adalah kompas hanif yang cenderung untuk selalu menunjukkan jalan yang benar. Kompas yang ditujukan untuk "menyelamatkan" Nabi Ibrahim dan keturunannya agar memiliki visi dan orientasi yang jelas dalam hidup.
Bencana sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah tergerusnya sifat hanif dari hati manusia. Kondisi ini kita sebut "erosi hati", di mana nilai-nilainya tersapu kuatnya arus hawa nafsu. Banyak kasus menunjukkan bahwa erosi hati ini berakibat pada meningkatnya intensitas "kemunafikan". Di satu sisi paham dan berusaha menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT, namun di sisi lain mempraktikkan pula hal-hal yang dilarang-Nya.
Akhir-akhir ini Allah SWT membukakan mata kita bahwa tolok ukur yang kita yakini (secara manusiawi) tentang kriteria kesalehan, tidak selamanya sesuai dengan kenyataan fitrah. Sehingga lahir aneka perbuatan yang seolah musykil dikerjakan. Beberapa kisah berikut kiranya dapat menjadi sedikit gambaran tentang kondisi yang saat ini terjadi.
Seorang pedagang bakso di Bogor mencampur baksonya dengan daging celeng yang harganya selisih 20 ribu rupiah lebih murah dari daging sapi. Peternak sapi di Boyolali mengakui bahwa sebelum disembelih sapinya dicekoki air bergalon-galon agar dagingnya menjadi lebih berat saat ditimbang.
Hasil investigasi yang dimuat sebuah majalah berita mingguan menunjukkan bahwa sebagian pengusaha SPBU melakukan manipulasi alat ukur di pompa bensinnya. Berita foto di salah satu harian nasional memperlihatkan beberapa pengajar sebuah perguruan Islam menyontek saat mengikuti ujian sertifikasi guru. Alasannya, "Kami ini sudah tua dan sudah banyak lupa!"
Seorang anak berusia 11 tahun tega mencekik dan membekap seorang balita yang mencuri buah kersen miliknya. Pembunuhan ini dilatarbelakangi rasa dendam karena ia sering diejek sang anak.
Konsep Mahabatullah Inilah sekelumit gambaran tentang nilai-nilai keislaman yang mulai tergerus dari taman hati. Akibat apa? Salah satunya, karena kita terbuai dalam kondisi yang "menanduskan hati", yaitu menikmati kesenangan dunia seolah tanpa batas. Aneka budaya, perilaku dan gaya hidup kita adopsi tanpa berpikir dan menimbangnya lagi. Guyuran advertensi yang mengubah cara pandang dan standar kehidupan telah menggeser visi dan orientasi hidup kita. Kata ”bahagia” kini telah lekat pada pemenuhan materi. Semakin materi mendominasi, semakin kering pula hati kita. Kebahagiaan ini telah terdegradasi menjadi sebuah kata sifat yang hanya bisa diukur dengan parameter daya beli.
Namun hal tersebut belum menjawab fenomena "kesalehan yang munafik". Menurut Rasulullah SAW, salah satunya tanda kemunafikan adalah tidak amanah. Konsep amanah identik dengan usaha untuk mengoptimalkan fungsi akal agar dapat istikamah secara terstruktur dan sistematis. Semua aktifitas dan perbuatan yang kita lakukan harus kita pertimbangkan dengan tenang. Tidak terburu-buru dan dikerjakan tanpa ilmu.
Maka, belajarlah memetik hikmah dari setiap keadaan, belajar untuk memberikan manfaat secara optimal bagi diri, keluarga, lingkungan, dan umat, serta terus belajar untuk memaafkan. Memetik hikmah berarti meluruskan niat belajar dan mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Sikap seperti ini akan menumbuhkan keimanan dan ketakwaan. Jika keimanan telah bersemai di hati, maka Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan menumbuhkan berkah dari bumi. Jika kita tidak lagi mempertuhan materi (syirik), maka rezeki akan melimpah bak hujan turun dari langit
Dengan adanya visi yang jelas (lillahi ta'ala), semua aktifitas hidup kita akan menjadi bagian dari ibadah. Motivasi yang muncul pun adalah motivasi yang sinergis dan harmonis. Sinergis antara semangat mensyukuri nikmat potensi dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya. Serta harmonis antara tuntutan pemenuhan hak dengan pemenuhan kewajiban. Konsep harta sosial (ma'aliyah istima'iyah) akan berjalan dengan sendirinya karena tumbuhnya kesadaran untuk saling berbagi. Dengan demikian keadilan akan terwujud dan kesejahteraan akan tercipta.
Sinergi dan harmoni akan mendorong nafs menjadi tenang. Dorongan keras adrenalin akan dikonduktori agar berorkestrasi dengan feniletilamin dan serotonin. Jadilah sebuah simfoni kerja keras yang semata karena cinta. Semakin keras bekerjanya semakin erat pula kerjasama hormonal yang terjadi, semakin memuncak pula rasa cintanya, hingga bermuara di tempat semua cinta kembali. Sesungguhnya rasa cinta akan merangsang cara berpikir yang konstruktif. Cara berpikir ini kemudian akan melahirkan aktifitas yang bermanfaat bagi banyak orang. Dengan mampu memaafkan juga, maka hati kita akan menjadi lebih jernih. Sehingga setiap permasalahan dan persoalan yang kita hadapi akan lebih nyata struktur dan wujudnya. Inilah konsep mahabatullah!
Bila kolaborasi semangat (ghirah), ketenangan, dan cinta itu telah kita siapkan, maka Allah akan menciptakan kemudahan-kemudahan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Termasuk diberikan rezeki tanpa kesulitan.
Tebarkan manfaat Bila hikmah telah berhasil dipetik maka belajarlah untuk menebarkan manfaat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? Misal, menyingkirkan paku dari jalan raya mungkin soal kecil. Tetapi bagi yang sepeda motornya terselamatkan dari kemungkinan mengalami ban bocor, ini adalah hal besar. Siapa tahu yang bersangkutan akan mengikuti tes lowongan pekerjaan. Mungkin 20 tahun kemudian ia menjadi pemimpin perusahaan, di mana kebijakan yang diambilnya sangat menekankan nilai-nilai Islam. Misal ia mengharuskan semua bawahannya shalat fardhu berjamaah. Setiap kali buruh pabrik yang jumlahnya ribuan itu shalat berjamaah, maka setiap kali itu pula Allah akan menambahkan pahala kepada sang penyingkir paku.
Inilah yang disebut konsep multi level pahala (MLP). Dalam terminologi agama dikenal sebagai amal jariah. Yaitu amalan yang tidak terputus walau yang bersangkutan telah meninggal. Dengan motivasi semacam ini, maka kita senantiasa akan bersemangat untuk melakukan aneka kebaikan. Walau selintas terlihat remeh. Sebaliknya, dengan kita pun tidak akan berani berbuat dosa walau sedikit pun. Karena catatan serta akibatnya akan terus mengikuti hingga akhir nanti. Wallaahu a'lam. Tauhid Nur Azhar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar